Our Founder
Pria berusia 25 tahun bernama GIBRAN RAKABUMI asal SOLO ini sudah mempunyai bisnis Solo Catering bernama Chili Pari. Lulus dari Management Development Institute of Singapore 2007 lalu, dia tidak langsung bisa membangun usahanya karena sulitnya mencari modal. Selain tidak ingin cuma mewarisi usaha, Gibran juga tidak ingin memanfaatkan kekuatan modal orangtuanya. Apalagi, orangtuanya tak pernah 100% setuju dengan tekadnya ini. Begitu menurut yang dilansir Solo Pos.
Tak ada modal dari orangtua. Satu-satunya pihak yang bisa diharapkan untuk memberinya modal adalah bank. Mulailah Gibran Rakabumi menyusun proposal dan mengajukannya ke berbagai bank. Karena tak ada pengalaman usaha dan usianya yang saat itu masih 22 tahun, proposalnya nyaris ditolak semua bank.
Beruntung masih ada satu bank yang masih mau memberinya kesempatan. Dia tak menyebut nominalnya, namun katanya hanya sedikit dari yang diajukannya. “Saya mengajukan sekian tapi yang turun hanya sebagian kecil.”
Dari modal pinjaman bank, Gibran Rakabumi memulai petualangan perdananya di bidang kuliner dengan membuka Catering Solo bernama Chilli Pari. Keterbatasan modal membuatnya harus membuat prioritas. Tapi bukan untuk membeli bahan makanan seperti halnya katering pada umumnya tapi untuk membangun kantor. Dia sengaja memprioritaskan penampilan kantor depannya yang mirip restoran mini.
“Pertama kali yang penting kantor depan dulu harus bagus. Di belakang dulu belum ada apa-apa, cuma ada satu kompor.”
Dengan kantor yang bagus itulah dia berupaya menarik konsumen. “Kantor ini sebenarnya digunakan sebagai test food. Sebelum pelanggan pesan, mereka bisa mencoba dulu makanannya.” Konsep baru ini pun tidak bisa langsung menarik konsumen secara instan. Umumnya pelanggan lebih percaya dengan katering atau restoran yang sudah punya nama.
Gibran Rakabumi pun menerjunkan tim pemasaran untuk menjemput pasar. Upayanya tak langsung membuahkan hasil dan harus menerima penolakan sampai pembatalan pesanan gara-gara namanya belum dikenal. Pelan-pelan tim marketing pun mulai menjaring para konsumen yang kebanyakan kalangan menengah ke atas. Gibran pun ikut turun tangan sendiri meyakinkan calon konsumen di kantor maupun di rumah-rumah. Kini kateringnya menjadi salah satu katering yang diperhitungkan di Kota Solo.
Pada awalnya kehadiran Chili Pari sering ditolak oleh para konsumen yang saat itu belum mengenalnya. Gibran pun memakluminya karena waktu itu usahanya sama sekali belum punya nama besar. Di sinilah dia menemukan tantangannya. Pernah suatu ketika seorang ibu memesan makanan dari Chilli Pari untuk keperluan pernikahan anaknya. Namun, beberapa hari sebelum pernikahan, dia tiba-tiba membatalkan pesanannya.
Usut punya usut, alasan pembatalan itu karena saran dari berbagai kerabatnya yang tidak percaya kepada Chilli Pari yang waktu itu berstatus katering baru. “Uang muka saya kembalikan semua. Tapi saya minta izin untuk sowan/main ke rumahnya, beberapa hari kemudian.”
Di sana, Gibran Rakabumi datang sendiri untuk kembali meyakinkan orang itu. Dia tidak hanya membawa katalog tapi juga membawa sampel makanan yang akan ditawarkannya. Orang itu sudah yakin dengan layanan makanannya tapi masih meragukan kemampuannya menangani jamuan untuk ribuan orang.
Maklum, orang ini masih ketakutan acaranya berantakan gara-gara keterlambatan atau ketidak mampuan katering dalam melayani tamu.
Gibran pun tak mau kalah dalam meyakinkan. Kepada orang itu dia menjamin bahwa sinoman-nya akan lebih dari cukup untuk mendukung acara itu. “Khusus buat Ibu, sinoman (pelayan)-nya saya kasih 1:4,” ujarnya yang juga ketua Asosiasi Pengusaha Jasa Boga Indonesia (APJI) Solo, menirukan negosiasinya waktu itu.
Tantangan itulah yang selama ini dicarinya saat mulai bermain di bisnis kuliner. Pendekatan yang sama juga masih tetap dilakukan meskipun usahanya sudah makin dikenal. Apalagi banyaknya pemain membuat persaingan di dunia usaha kuliner, khususnya katering, sangat besar.
Terlebih dia melihat gedung pertemuan milik ayahnya, Graha Saba Buana, sudah tujuh tahun tanpa katering. Jadi, jika ada penyewa, harus menyewa katering dari pihak lain. “Saya dari dulu usul kenapa katering nggak digarap? Mungkin karena kesibukannya di mebel, jadi nggak sempat. Padahal, bisnis katering cukup menggiurkan karena setiap ada hajatan, biaya terbesar biasanya tersedot untuk membayar katering,” katanya.
Sayang, idenya tersebut tidak pernah ditanggapi ayahnya. Orangtuanya terus saja mendesak Gibran untuk meneruskan usaha keluarga di bidang mebel. Namun, keteguhan hatinya tetap menyala. Dia bersikeras tidak memiliki ketertarikan di bidang mebel. “Bapak bilang, lha terus sing ngelanjutke sopo? Kamu nggak nurut sama orangtua,” ungkap Gibran menirukan ucapan ayahnya.
Anak pertama di antara tiga bersaudara itu mengakui bahwa bisnis katering yang ditanganinya sekarang berdiri tanpa restu orangtua. Maklum, adik-adiknya masih kuliah dan bersekolah sehingga belum bisa diserahi tanggung jawab. “Saya nggak tahu nanti adik-adik saya apakah mau melanjutkan usaha Bapak atau tidak. Kalau saya, jelas sudah tidak mau,” tegasnya.
Dia menyadari bahwa modal terbesar bisnis katering adalah kepercayaan. Setiap ada momen pernikahan, pasti yang dicari perusahaan katering yang sudah mapan dan tepercaya. Sementara itu, katering baru yang dibuat Gibran awalnya sama sekali belum dikenal. “Yang sulit adalah meyakinkan calon konsumen bahwa kami beda. Kami kasih edukasi ke pasar. Kalau yang lain masih skala rumah tangga, sistem kami sudah tertata,” sebutnya.
Menurut Gibran, masyarakat Solo memiliki perbedaan jika dibandingkan dengan kota-kota lain. Sebab, budaya masyarakatnya masih memegang konsep penyajian “piring terbang”. “Itu semacam istilah untuk sistem di Solo. Jadi, tamu-tamunya duduk. Pelayannya yang nganter-nganterin makanan. Kalau di Jakarta dan Surabaya, kan sudah sistem buffet. Mereka ngambil sendiri,” terangnya.
Sistem piring terbang seperti itu, lanjut dia, cukup menyulitkan bagi dirinya dan para karyawan. Sebab, Chilli Pari harus menyediakan personel yang cukup banyak untuk melayani para tamu. “Kalau ada order besar, kami menyewa tenaga ibu-ibu sekitar untuk bekerja sambilan. Ya, lumayanlah buat mereka ada uang tambahan,” ungkapnya.
Pada saat pertama memegang order seribu orang, Chilli Pari rela mendapatkan kritik dari beberapa tamu. Maklum, pengalaman pertama itu cukup membuat sajian terlambat dihidangkan. “Waktu itu, aku pakai batik, pura-pura tanya ke tamu. Mereka bilang, makanannya terlambat mungkin karena kateringnya baru. Jadi, itu kami sampaikan ke karyawan supaya ke depan lebih baik lagi. Alhamdulillah, sekarang semuanya lancar,” kata dia.
Apalagi persiapan matang dia lakukan sejak jauh hari. Untungnya, order katering biasanya dilakukan sejak enam sampai satu tahun sebelumnya sehingga Chilli Pari bisa melakukan perencanaan. “Selama 2011, kami sudah melayani ratusan wedding dan event-event, baik skala nasional maupun internasional. Sekarang semua orang percaya,” katanya bangga.
Menurut dia, kunci bisnis katering di Solo dengan budaya piring terbang adalah kecepatan. Oleh karena itu, jumlah personel yang memadai diperlukan. “Di Solo ini banyak kejadian desert (makanan penutup) belum keluar, tamu sudah pulang. Sebab, orang Solo itu yang penting ada nasi, ada es, langsung pulang. Jadi, intinya kami harus cepet keluarin makanannya,” tambahnya.
Lambat laun dia bisa mencirikan karakteristik orang Solo yang lain. “Kalau yang datang anaknya, pasti minta buffet. Tapi, kalau sama orangtuanya, pasti ngotot piring terbang. Karena orang Solo bilang, kalau tamu nggak dilayani, itu nggak sopan. Biasanya, memang begitu kalau orang Jawa yang tradisional. Tapi, kalau yang sudah modern, pasti pilih buffet,” ungkapnya.
Dan Sekarang Chilli Pari telah besar sebagai penyedia jasa one-stop wedding solution, juga menawarkan berbagai kebutuhan pesta seperti Catering solo, Gedung Pernikahan, Wedding Event Organization, dekorasi, rias pengantin, souvenir, undangan, entertainment yang menjadi perhitungan kalangan menengah keatas di kota Solo.